sumber gambar: google.com
Di Dusun Ndao, Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur,
perempuan tidak hanya dimuliakan karena kecantikannya, tetapi juga karena
keterampilan menenun kain ikat. Menenun di Dusun Ndao ini bermula dari sarang
laba-laba. Dahulu, seorang perempuan Ndao menyaksikan seekor laba-laba besar
yang membuat jaring-jaring rapi dengan lendirnya seperti lem. Awalnya,
jaring-jaring dari lendir itu berlubang besar. Namun, lama kelamaan semakin
kecil dan akhirnya membentuk lembaran kain.
Pengetahuan tersebut hanya dipraktekkan pada daun
lontar. Namun, kemudian dialihkan pada benang yang dihasilkan dari kapas.
Meskipun kawasan Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur dikenal tandus, cocok untuk
ditanami tanaman kapas, jagung, dan kacang-kacangan. Selain petani, mata
pencaharian mayoritas warga adalah nelayan. Sementara hampir seluruh kaum
wanitanya adalah penenun. Semua
perempuan Ndao menjadi berarti apabila terampil menenun dalam berbagai motif,
gaya, jenis, dan sesuai selera konsumen. Menenun menjadi satu kewajiban mulia bagi
perempuan di sana.
Bahkan, setiap anak perempuan wajib menenun sejak
masih kanak-kanak atau berusia lima tahun. Kesempurnaan seorang perempuan Ndao
terletak pada keterampilan menenunnya. Saat mulai menenun, ibarat seorang anak
perempuan yang masuk dunia sekolah dasar (sekitar umur enam tahun). Tetapi
untuk menenun diwajibkan usia lima tahun. Hanya dengan menenun, diyakini orang-orang
Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, bisa memenuhi kenutuhan hidupnya. Di Rote Ndao,
Nusa Tenggara Timur, tiap kaum perempuan selalu menenun meskipun hanya beberapa
jam saja.
Dengan bekal ketrampilan menenun yang dikuasainya,
seorang perempuan Ndao akan sangat dihargai dimata kaum pria. Kekerasan dalam
rumah tangga pun dapat dihindari dengan memiliki ketrampilan tersebut. Oleh karena
itu, nilai emas kaawin seorang perempuan Ndao diukur dari ketrampilan
menenunnya. Alasannya adalah dengan menenun, seseorang butuh kesabaran,
ketekunan, kelemahlembutan, pengorbanan, dan kesabaran. Itu karena
untaian-untaian benang berukuran 0,5-0,7 milimeter yang beraneka warna,
dirangkai dengan lurit atau sebatang
kayu halus berukuran 1 meter dan lebar 10 sentimeter yang berfungsi menekan
atau merapatkan benang-benang itu untuk membentuk lembaran-lembaran kain.
Namun, hanya orang-orang yang memiliki keterbatasan ekonomi saja yang mampu
menenun kain ikat tersebut. Satu kain tenun secara keseluruhan dapat
diselesaikan dalam kurun waktu satu bulan. Namun, jika dikerjakan dari pagi
hingga malam, kain tenun tersebut bisa diselesaikan dalam waktu tiga hari.
Sebenarnya hingga tahun 1995, warga Ndao masih
menggunakan benang asli dari tanaman kapas yang ditanam dan diproses secara
manual. Bahkan, kaum perempuan Ndao juga ikut membantu suami mereka menanam
tanaman kapas tersebut. Selain memanen, mereka kemudian memprosesnya menjadi
benang secara manual, dengan cara memisahkan kapas dari biji-bijinya.
Sebelumnya, kapas dihaluskan dengan tangan terlebih dahulu. Potongan-potongan
kapas kemudian disambung dan diputar dengan alat yang terbuat dari kayu.
Seperti putaran gasing, peralatan tersebut diputar dengan bantuan jari-jari
tangan.
Pintalan benang tersebut selanjutnya digulung dan
kemudian diberi warna sesuai dengan selera masing-masing dengan zat pewarna
tradisional. Cara pewarnaan pun tak mudah. Dengan cara dimasak, benang yang
diwarnai, warnanya akan lebih tahan lama.Namun, kain sarung yang dihasilkan dari benang jenis
tersebut dinilai kasar, berat, dan mudah luntur jika pewarnaannya tidak kuat.
Tenun ikat jenis ini pun jarang diminati orang untuk dikenakan sehari-hari. Mereka
mengenakannya saat acara adat.
Namun, sejak 1997, benang-benang tenun mulai
digantikan dengan benang tenun buatan pabrik, yang ramai dijual di toko-toko di
Kota Kupang. Benang pabrikan lebih halus, lembut, dan ringan sehingga
menghasilkan kain tenun ikat yang lebih berkualitas daripada sebelumnya.
Salah satu kekhasan kain tenun ikat Ndao adalah motif
tenun ikat Rote yang berubah-ubah secara dinamis. Suatu saat bisa bermotif
binatang, seperti cecak, ayam, sapi, kerbau, atau bisa juga lontar. Namun,
suatu saat bisa saja bermotif burung, panah, parang, dan tombak, atau alat
musik sasando.
Keanekaragaman motif itulah yang mendorong sejumlah
sekolah di Rote mengirim anak-anak sekolah menengah pertama dan atas mengikuti
ketrampilan menenun dasar di Dusun Ndao. Rata-rata tiap sekolah mengirim 5-10
anak perempuan.
Sayangnya, para penenun di Dusun Ndao mengaku tak
pernah mendapat bantuan sama sekali dari pemerintah Kabupaten Rote Ndao.
Tenunan mereka juga tidak dipromosikan. Warga pun berjuang sendiri menjual kain
tenunan mereka ke Kupang. Biasanya, kalau ada pameran 17 Agustusan di Rote dan
di Kupang, mereka ikut secara sukarela. Semua biaya ditanggung pengrajin tanpa
dukungan dari pemerintah.
Meski tak ikut menenun, kaum pria membantu
memasarkannya ke Kabupaten Rote Ndao, Kota Kupang, dan Kabupaten Kupang.
Disadur dari Harian Kompas, 20 Juli 2013