Jumat, 02 Agustus 2013

TENUN IKAT NDAO



 sumber gambar: google.com

Di Dusun Ndao, Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, perempuan tidak hanya dimuliakan karena kecantikannya, tetapi juga karena keterampilan menenun kain ikat. Menenun di Dusun Ndao ini bermula dari sarang laba-laba. Dahulu, seorang perempuan Ndao menyaksikan seekor laba-laba besar yang membuat jaring-jaring rapi dengan lendirnya seperti lem. Awalnya, jaring-jaring dari lendir itu berlubang besar. Namun, lama kelamaan semakin kecil dan akhirnya membentuk lembaran kain.

Pengetahuan tersebut hanya dipraktekkan pada daun lontar. Namun, kemudian dialihkan pada benang yang dihasilkan dari kapas. Meskipun kawasan Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur dikenal tandus, cocok untuk ditanami tanaman kapas, jagung, dan kacang-kacangan. Selain petani, mata pencaharian mayoritas warga adalah nelayan. Sementara hampir seluruh kaum wanitanya adalah penenun.  Semua perempuan Ndao menjadi berarti apabila terampil menenun dalam berbagai motif, gaya, jenis, dan sesuai selera konsumen. Menenun menjadi satu kewajiban mulia bagi perempuan di sana.

Bahkan, setiap anak perempuan wajib menenun sejak masih kanak-kanak atau berusia lima tahun. Kesempurnaan seorang perempuan Ndao terletak pada keterampilan menenunnya. Saat mulai menenun, ibarat seorang anak perempuan yang masuk dunia sekolah dasar (sekitar umur enam tahun). Tetapi untuk menenun diwajibkan usia lima tahun. Hanya dengan menenun, diyakini orang-orang Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, bisa memenuhi kenutuhan hidupnya. Di Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, tiap kaum perempuan selalu menenun meskipun hanya beberapa jam saja.

Dengan bekal ketrampilan menenun yang dikuasainya, seorang perempuan Ndao akan sangat dihargai dimata kaum pria. Kekerasan dalam rumah tangga pun dapat dihindari dengan memiliki ketrampilan tersebut. Oleh karena itu, nilai emas kaawin seorang perempuan Ndao diukur dari ketrampilan menenunnya. Alasannya adalah dengan menenun, seseorang butuh kesabaran, ketekunan, kelemahlembutan, pengorbanan, dan kesabaran. Itu karena untaian-untaian benang berukuran 0,5-0,7 milimeter yang beraneka warna, dirangkai dengan lurit atau sebatang kayu halus berukuran 1 meter dan lebar 10 sentimeter yang berfungsi menekan atau merapatkan benang-benang itu untuk membentuk lembaran-lembaran kain. Namun, hanya orang-orang yang memiliki keterbatasan ekonomi saja yang mampu menenun kain ikat tersebut. Satu kain tenun secara keseluruhan dapat diselesaikan dalam kurun waktu satu bulan. Namun, jika dikerjakan dari pagi hingga malam, kain tenun tersebut bisa diselesaikan dalam waktu tiga hari. 

Sebenarnya hingga tahun 1995, warga Ndao masih menggunakan benang asli dari tanaman kapas yang ditanam dan diproses secara manual. Bahkan, kaum perempuan Ndao juga ikut membantu suami mereka menanam tanaman kapas tersebut. Selain memanen, mereka kemudian memprosesnya menjadi benang secara manual, dengan cara memisahkan kapas dari biji-bijinya. Sebelumnya, kapas dihaluskan dengan tangan terlebih dahulu. Potongan-potongan kapas kemudian disambung dan diputar dengan alat yang terbuat dari kayu. Seperti putaran gasing, peralatan tersebut diputar dengan bantuan jari-jari tangan.

Pintalan benang tersebut selanjutnya digulung dan kemudian diberi warna sesuai dengan selera masing-masing dengan zat pewarna tradisional. Cara pewarnaan pun tak mudah. Dengan cara dimasak, benang yang diwarnai, warnanya akan lebih tahan lama.Namun, kain sarung yang dihasilkan dari benang jenis tersebut dinilai kasar, berat, dan mudah luntur jika pewarnaannya tidak kuat. Tenun ikat jenis ini pun jarang diminati orang untuk dikenakan sehari-hari. Mereka mengenakannya saat acara adat.

Namun, sejak 1997, benang-benang tenun mulai digantikan dengan benang tenun buatan pabrik, yang ramai dijual di toko-toko di Kota Kupang. Benang pabrikan lebih halus, lembut, dan ringan sehingga menghasilkan kain tenun ikat yang lebih berkualitas daripada sebelumnya.
Salah satu kekhasan kain tenun ikat Ndao adalah motif tenun ikat Rote yang berubah-ubah secara dinamis. Suatu saat bisa bermotif binatang, seperti cecak, ayam, sapi, kerbau, atau bisa juga lontar. Namun, suatu saat bisa saja bermotif burung, panah, parang, dan tombak, atau alat musik sasando.
Keanekaragaman motif itulah yang mendorong sejumlah sekolah di Rote mengirim anak-anak sekolah menengah pertama dan atas mengikuti ketrampilan menenun dasar di Dusun Ndao. Rata-rata tiap sekolah mengirim 5-10 anak perempuan.

Sayangnya, para penenun di Dusun Ndao mengaku tak pernah mendapat bantuan sama sekali dari pemerintah Kabupaten Rote Ndao. Tenunan mereka juga tidak dipromosikan. Warga pun berjuang sendiri menjual kain tenunan mereka ke Kupang. Biasanya, kalau ada pameran 17 Agustusan di Rote dan di Kupang, mereka ikut secara sukarela. Semua biaya ditanggung pengrajin tanpa dukungan dari pemerintah.

Meski tak ikut menenun, kaum pria membantu memasarkannya ke Kabupaten Rote Ndao, Kota Kupang, dan Kabupaten Kupang.

Disadur dari Harian Kompas, 20 Juli 2013

Kamis, 01 Agustus 2013

GORESAN SENI DI BALIK SAKU CELANA



Dompet merupakan sebuah pelengkap aksesoris yang bisa dikatakan lumayan penting dalam kehidupan kita karena dilihat dari fungsinya yaitu untuk menyimpan kartu identitas, ATM, kartu kredit, dan yang lebih utama yaitu menyimpan uang. Sehingga ketika kita pergi, tidak lupa benda yang satu ini ditinggal karena jika ditinggal akibatnya bisa fatal. Selain itu, aksesoris ini cukup praktis. 

 

Seiring dengan semakin pesatnya teknologi digital dan cetak selalu berinovasi membuka peluang besar bagi para designer untuk berkreasi tanpa batas. Saat ini merupakan sebuah kelaziman apabila para kaum pria melenggang dengan sebuah dompet yang tersangkut di balik saku celana panjangnya. Apalagi, fungsi dompet bagi kaum wanita. Jangan ditanya lagi. Pernah suatu ketika saya akan pergi bersama ibu-ibu dan salah satu dari mereka tidak membawa dompet padahal sudah membawa tas lho. Ibu itu memilih pulang terlebih dahulu untuk mengambil dompetnya. Katanya sih,”Kurang afdol kalau pergi nggak bawa dompet.” Ada-ada saja. Menurut saya lebai banget ibu tersebut. He,he,he…

Ok, kembali lagi ke permasalahan.

Desain dan warna dompet saat ini bisa berubah mengikuti tas maupun baju yang dikenakan. Bahkan banyak pembelian tas yang juga dilengkapi dengan dompet yang berwarna serasi. Nah, hal ini yang akhirnya mengubah kapasitas dompet tak lagi hanya menampung uang, kartu identitas, ATM, kartu kredit saja melainkan kapasitasnya lebih kepada desainnya.

Yang lebih seru lagi, tampilan luar dompet semakin berani. Maksudnya desain grafis yang mengcover bagian luar dompet. Gambarnya beraneka ragam. Hal inilah yang menjadi pilihan banyak anak muda yang ingin tampil lebih trendi dan modern. Sungguh berbeda dengan dompet zaman jadul alias dompet konvensional.

Jika kita menengok ke belakang, dahulu dompet hanya berfungsi untuk menyimpan uang saja. Berdasarkan Ensiklopedi Britannica, dompet berasal dari istilah fiscus. Istilah tersebut dipakai oleh bangsa Romawi. Fiscus tersebut memiliki kegunaan sebagai tempat mengumpulkan uang kaisar. Kalau zaman dahulu, uang dikumpulkan di dalam keranjang. Uang yang terkumpul di fiscus tersebut berasal dari upeti yang diberikan wilayah kekuasaan Romawi kepada kaisar Romawi. Itulah sekelumit latar belakang terciptanya dompet.

Mulai tahun 1950-an dompet mulai dilengkapi dengan slot penyimpan kartu identitas. Kemudian mulai dekade 1970-an dompet dilengkapi slot penyimpan kartu kredit. Dan, mulai saat itu pula kartu kredit dikenal dalam transaksi.

 

Ok, cukup sekian ya info tentang goresan di balik saku celananya. Bye!! semoga bermanfaat. :) 

KAOS



Tahukah kalian tentang asal mula kaos?
Baiklah, disini saya akan coba mengulas tentang asal muasal kaos.
Dahulu kaos pertama kali muncul yaitu berupa kaos oblong. Yang pada saat itu masih digunakan khusus oleh tentara Inggris dan Amerika Serikat pada abad 19 hingga awal abad 20. Sebutan kaos dalam bahasa Inggris yaitu t-shirt yang artinya kaos oblong. Disebut t-shirt karena kaos oblong tersebut berbentuk seperti huruf “t” dan juga pasukan militer sering menggunakan kaos ini sebagai training shirt. Istilah t-shirt baru resmi dimasukkan ke dalam kamus bahasa Amerika-Inggris Meriam-Webster’s Dictionary pada 1920.  

Kaos dahulu memiliki lengan yang cukup pendek, tidak berkerah, dan tidak berkancing. Warnanya putih polos. Jika digunakan oleh orang bentuknya pas body. Sedangkan bentuk lehernya bulat. Kaos oblong ini hanya digunakan sebagai pakaian dalam saja. Jadi tidak digunakan sebagai pakaian sehari-hari-hari.

Namun seiring dengan bertambahnya waktu, fungsi dari kaos oblong pun mulai berubah. Tidak hanya digunakan sebagai pakaian dalam saja namun mulai digunakan sebagai pakaian sehari-hari yaitu mulai tahun 1951. Hal ini dikarenakan aktor Amerika Serikat yang populer yaitu Marlon Brando menggunakan kaos ini ketika memerankan sebuah adegan film yang berjudul A Street Named Desire karya Tenesse William di Broadway, Amerika Serikat. Kaos tersebut berwarna abu-abu yang dikenakannya begitu pas dan lekat di tubuh Brando, serta sesuai dengan karakter tokoh yang diperankannya. Namun demikian, terjadi kontroversi tentang pakaian tersebut. Pada waktu itu, kaos tersebut masih dianggap sesuatu yang tabu dan tidak sopan. Akan tetapi, semakin ditentang semakin banyak golongan anak-anak muda yang tertarik dengan kaos tersebut hingga menjadi sebuah trend di kalangan anak muda.

Dengan semakin canggih dan kreatifitas yang dimiliki manusia maka kaos oblong atau t-shirt ini tidak lagi menjadi sederhana. Berbagai design, corak, dan warna pun semakin berkembang. Fungsi kaos itu pun makin bergeser dan dijadikan peluang emas bagi para designer dalam berkarya. Makin maraknya distro-distro yang menawarkan berbagai kaos branded pun dijadikan ajang persaingan. 

Di Indonesia sendiri, kaos oblong pertama kali dibawa oleh orang-orang Belanda. Dahulu, kaos ini merupakan barang istimewa karena mahal harganya. Dan tidak semua kalangan dapat menjangkaunya. Hingga pada tahun 1970-an  menampakkan perkembangan yang signifikan terhadap penggunaan kaos. Dahulu, hanya orang-orang kalangan atas sajalah yang mampu memilikinya namun saat era 70-an mulai merambah hingga pelosok pedesaan. Namun pada saat itu, bentuk dan modelnya masih konvensional dan berwarna putih polos saja. Beberapa merek terkenal saat itu adalah swan dan 77. 

Di era saat ini, kaos memiliki beragam jenis model dan gambar. Mulai dari karakter kartun populer, kata-kata unik, gambar lucu, dan sebagainya. Popularitas kaos terus melambung berkat para artis dan musisi yang menggunakan kaos dalam kegiatannya sehari-hari. Kaos pun cocok digunakan oleh kaum pria, wanita, anak-anak, remaja, bahkan bayi.

Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kaus_oblong

Rabu, 31 Juli 2013

FREDERICH SILABAN, ARSITEK MASJID ISTIQLAL



Masjid Istiqlal merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara yang letaknya di pusat ibu kota Jakarta. Masjid ini merupakan masjid kebanggaan Bangsa Indonesia sebagai wujud rasa syukur bangsa ini terhadap kemerdekaan Indonesia. Pemrakarsa pembangunan masjid ini yaitu Presiden Republik Indonesia yang pertama Ir. Soekarno. 

Lalu, apakah kalian tahu sebenarnya siapa arsitek masjid istiqlal ini? Kita cari tahu yuk!
Ternyata, arsitek masjid modern yang bergaya internasional ini merupakan seorang non muslim yaitu Kristen Protestan yang bernama Frederich Silaban. Ia lahir di Banandolok, Sumatara Utara tanggal 16 Desember 1912. Ia merupakan generasi awal arsitek Indonesia. Pendidikan formal yang pernah dialaminya yaitu di HIS Narumonda, Tapanuli (tahun 1927), Koningin Wilhelmina School (KWS) di Jakarta (1931), dan Academic van Bouwkunst Amsterdam, Belanda (1950). Ia juga memiliki peranan yang besar dalam pembentukan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) tanggal 16 dan 17 September 1959.

Frederich Silaban memenangkan sayembara yang diadakan oleh Ir. Soekarno. Pada saat itu, Dewan Juri sayembara rancang bangun Masjid Istiqlal terdiri dari para Arsitek dan Ulama terkenal. Adapun susunan Dewan Juri diantaranya, Ketua: Ir. Soekarno (Presiden Republik Indonesia) dengan anggotanya Ir. Roeseno, Ir. Djuanda, Ir. Suwardi, Ir. R. Ukar Bratakusumah, Rd. Soeratmoko, H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), H. Abu Bakar Aceh, dan Oemar Husein Amin.
Sayembara tersebut berlangsung mulai 22 Februari 1955 sampai dengan 30 Mei 1955. Pada saat itu sekitar 30 peserta yang ikut sayembara itu. 27 peserta diantaranya menyerahkan sketsa dan maket. Sedangkan yang memenuhi persyaratan lomba 22 peserta saja.

Setelah dewan juri menilai dan mengevaluasi, akhirnya ditetapkanlah 5 (lima) peserta sebagai nominator. Kelima peserta tersebut yaitu Pemenang Pertama: Frederich Silaban dengan disain bersandi Ketuhanan, Pemenang Kedua: R. Utoyo dengan disain bersandi Istighfar, Pemenang Ketiga: Hans Gronewegen dengan disain bersandi Salam, Pemenang Keempat: 5 orang mahasiswa ITB dengan disain bersandi Ilham, Pemenang Kelima: 3 orang mahasiswa ITB dengan disain bersandi Khatulistiwa dan NV. Associatie dengan sandi Lima Arab.

Pada tanggal 5 Juli 1955, Dewan Juri menetapkan Frederich Silaban sebagai pemenang pertama yang dilakukan di Istana Merdeka. Pada saat itu,  Frederich Silaban memperoleh sebuah medali emas 75 gram dan uang Rp. 25.000 sebagai penghargaannya. Pemenang kedua, ketiga, dan keempat diberikan hadiah. Dan seluruh peserta mendapat sertifikat penghargaan.

Atas prestasinya tersebut, Frederich Silaban dijuluki by grace of God oleh Bung Karno (sebutan Ir. Soekarno) karena ia merupakan arsitek pengukir sejarah toleransi beragama di Indonesia. Selain itu, masih banyak penghargaan yang diberikan kepada Frederich Silaban diantaranya tanda kehormatan Satyalancan Pembangunan yang disematkan Presiden Soekarno tahun 1962 dan penghargaaan Honorary Citizen (warga negara kehormatan) dari New Orleans, Amerika Serikat. Kubah Masjid Istiqlal telah diakui Universitas Darmstadt, Jerman Barat, sebagai hak ciptanya sehingga disebut sebagai Silaban Dom atau Kubah Silaban.

Beberapa hasil karya Frederich Silaban:
·      Gedung Universitas Nommensen, Medan (1982)
·      Gelora Bung Karno, Jakarta (1962)
·      Monumen Pembebasan Irian Barat, Jakarta (1963)
·      Markas TNI Angkatan Udara, Jakarta (1962)
·      Gedung BNI 1946, Meda (1962)
·      Monumen Nasional atau Tugu Monas, Jakarta (1960)
·      Rumah Dinas dan Kantor Wali Kota Bogor (1935)
·      Kantor Pusat Bank Indonesia, Jalan Thamrin, Jakarta (1958)
·      Masjid Istiqlal, Jakarta (1954)
·      Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta (1953)
·      Tugu Khatulistiwa, Pontianak (1938).

Referensi:
Koran media Indonesia, 24 Februari 2013.